Aqidah Pokok dan Aqidah Cabang

AQIDAH POKOK DAN AQIDAH CABANG
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas kelompok
Mata Kuliah: Tauhid
Dosen Pengampu: 1. Dra. Siti Johariyah, M.Pd.
2. Rohmatun Lukluk Isnaini, S.Pd.I., M.Pd.I.


Disusun oleh Kelompok 7:
Sem.I/PGMI B

1.     Ardian Retno Anggraeni                (17104080053)
2.     Gita Indriana Lestari                      (17104080070)
3.     Sekti Nur Rahmawati                     (17104080078)
4.     Laylatul Masruroh                         (17104080089)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2017








BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Pada akhir abad ke-18, di tanah Arab terdapat gerakan purifikasi (pemurnian) bidang aqidah. Karena pada saat itu, Muhammad bin Abdul Wahhab menilai bahwa kemunduran umat Islam disebabkan oleh kotornya Tauhid. Padahal, dalam pandangan Muhammad bin Abdul Wahhab, tauhid adalah landasan paling esensial bagi umat islam. Jika landasannya saja tidak kokoh dan tercemar, maka ibarat sebuah pondasi yang tidak kuat akan mengakibatkan bangunan diatasnya goyah bahkan roboh. Demikian pentingnya kemurnian Aqidah, Muhammad bin Abdul Wahhab dan pengikutnya berusaha untuk membasmi segala sesuatu yang dianggapnya mengotori aqidah.[1]
Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan inti dari islam sendiri adalah iman dan amal. Iman mencerminkan aqidah dan pokok-pokok yang menjadi landasan syari’at islam. Dan dari dasar-dasar ini keluarlah cabang-cabangnya.[2]
Oleh karena itu, kita sebagai umat muslim perlu mengetahui dasar-dasar aqidah (aqidah pokok) beserta cabang-cabangnya. Dengan mengetahui aqidah pokok beserta cabangnya, akan membawa dampak yang positif bagi kehidupan manusia. Bila setiap manusia memiliki komitmen tauhid yang kokoh dan utuh, maka akan menjadi suatu kekuatan besar dalam membangun dunia.






B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah definisi dari aqidah?
2.      Apakah  definisi dari aqidah pokok dan aqidah cabang?
3.      Apakah perbedaan antara aqidah pokok dan aqidah cabang?
4.      Apakahpengertian dari aqidah pokok?
5.      Apakah pengertian dari aqidah cabang?

C.    TUJUAN PENULISAN MAKALAH
1.      Untuk mengetahui definisi aqidah.
2.      Untuk mengetahui definisi dari aqidah pokok dan aqidah  cabang.
3.      Untuk mengetahui perbedaan antara aqidah pokok dengan aqidah cabang.
4.      Untuk mengetahui pengertian dari aqidah pokok.
5.      Untuk mengetahui pengertian aqidah cabang.

D.    PETA KONSEP

Rectangle: Rounded Corners: AQIDAH
 



Rectangle: Rounded Corners: CABANG                                                                                   
Rectangle: Rounded Corners: Masalah atau perbedaan pendepat mengenai ketuhanan, malaikat, kitab, nabi, kiamat dan takdir.
 




BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN AQIDAH
Aqidah secara etimologi berarti ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. Bisa juga diartikan sebagai apa yang telah menjadi ketetapan hati seseorang secara pasti adalah aqidah, baik benar ataupun salah. Sedangkan menurut isttilah (terminoligi) aqidah yaitu perkara yang wajib dibenarkan oleh hati, jiwa menjadi tentram karenanya sehingga menjadi keyakinan yang teguh dan kokoh, tidak tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.[3]
Aqidah Islamiyyah adalah iman yang teguh dan terikat kepada Allah dengan semua pelaksanaan kewajiban, tauhid dan menaati-Nya, percaya pada malaikat-Nya, rasul, buku-buku mereka, nasib baik dan buruk dan percaya seluruh tidak memiliki prinsip-prinsip Authentic Agama (Teologi Islam), kasus yang tak terlihat, iman dalam apa yang ijma ‘(konsensus) dari Salafush Shalih, dan semua qath’i berita (pasti), baik secara ilmiah dan amaliyah yang telah ditentukan sesuai dengan Al Qur’an dan otentik Sunnah dan ijma ‘Salaf as-Salih.
Pengertian Iman atau Aqidah menurut islam ada enam :
a.       Ma’rifat kepada Allah, ma’rifat kepada nama-nama-Nya yang baik, dan sifat-sifat-Nya yang tinggi, ma’rifat kepada dalil-dalil wujud-Nya dan fenomena-fenomena keagungan-Nya di alam semesta ini.
b.      Ma’rifat kepada alam yang ada di balik alam semesta ini atau alam yang tidak dapat dilihat (alam ghaib). Demikian pula kekuatan-kekuatan yang ada di dalamnya yang tercermin pada para malaikat, kekuatan-kekuatan jahat yang tercermin pada iblis dan tantara-tentaranya dari kalangan syetan. Juga ma’rifat kepada apa yang ada di ala mini berupa makhluk jin dan ruh-ruh.


c.       Ma’rifat kepada Kitab-kitab Allah yang diturunkan untuk menentukan rambu-rambu kebenaran dan kebathilan, kebaikan dan kejahatan, halal dan haram, yang baik dan yang buruk,
d.      Ma’rifat kepada para Nabi dan Rasul Allah yang telah dipilih untuk menjadi penunjuk jalan dan pembimbing makhluk untuk mencapai kebenaran.
e.       Ma’rifat kepada hari akhir dan hal-hal yang ada di dalamnya, seperti kebangkitan dari kubur dan balasan amal, pahala dan siksa, surge dan neraka.
f.        Ma’rifat terhadap qada dan qadar (takdir) yang di atas landasannya sistem alam semesta ini berjalan, baik dalam penciptaan maupun pengaturannya.[4]

B.     PENGERTIAN AQIDAH POKOK DAN AQIDAH CABANG
Pada masa Nabi Muhammad SAW dan dua khalifah sesudahnya, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khathab, Aqidah umat islam masih utuh dan dapat dipersatukan. Pada masa itu, persoalan-persoalan muncul berkaitan dengan dengan persoalan aqidah namun dapat diselesaikan tanpa menimbulkan perpecahan. Keutuhan aqidah yang mencakup enam rukun iman mengkristal secara kuat dalam keimanan umat islam waktu itu. Inilah yang dalam ilmu tauhid disebut dengan aqidah pokok.
Pada masa Rasulullah SAW, tidak terdapat pertentangan diantara umat islam dalam memahami aqidah, karena pada masa itu segala permasalahan agama disandarkan pada Rasulullah SAW.
Awal perpecahan umat islam dimulai dari wafatnya Rasulullah, yang kemudian persoalan pertama yang memulai perpecahan umat Islam pertama adalah masalah politik, mengenai siapa yang akan menjadi khalifah sepeninggalnya Rasulullah SAW. Hal ini semakin runcing pada masa pemerintahan Ustman bin Affan, sehingga muncullah kelompok-kelompok pemberontak yang disebut dengan kelompok Khawarij. [5]
Beranjak dari permasalahan ini pula lah mulai bermunculan perbedaan pemahaman dalam masalah aqidah atau keimanan. Sehingga munculah cabang-cabang dan perbedaan dalam memahami rukun iman yang 6 yang disebut dengan Aqidah Cabang.
C.    PERBEDAAN AQIDAH POKOK DAN AQIDAH CABANG
Perbedaan antara aqidah pokok dan aqidah cabang antara lain:
1.      Aqidah pokok terlahir karena adanya kemapanan, kesatuan, dan keutuhan keyakinan umat islam, karena setiap persoalan yang muncul dapat diterima dan diselesaikan secara bulat. Sedangkan aqidah cabang muncul sebagai akibat dari adanya perpecahan dan perbedaan di kalangan umat Islam yang tidak dapat disatukan.
2.      Aqidah pokok terwujud karena tidak terdapat unsur-unsur kepentingan kelompok didalamnya, sedangkan aqidah cabang berkembang sejalan dengan berbagai kepentingan kelompok yang berkembang.
3.      Aqidah pokok secara murni didasarkan kepada Al-Qur’an dan tuntunan Nabi, sedangkan aqidah cabang umumnya didasarkan pada penafsiran dan pemahaman masing-masing orang sehingga muncul perbedaan.
4.      Aqidah pokok umumnya tidak menimbulkan perbedaan pendapat, sedangkan aqidah cabang umumnya menimbulkan perdebatan dan perbedaan pendapat.[6 

D.    AQIDAH POKOK
Cakupan aqidah pokok ada 6 yang kesemuanya merupakan rukun iman. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Rasulullah SAW dalam sebuah hadist mengenai perkara iman.
أَ ْنْْتُ ْؤ ِم َن ْْبِا َللّ ِْْ َو َم َلَئِ َكتِهِْْ َو ُك ُتبِه ِْْ َو ُر ُسلِه ِْْ َوا ْلَْ ْو ِم ْْا ْلْ ِخرِ ْْ َوتُ ْؤ ِم َنْْبِالْ َق َدرِْْ َخ ْيِْهِْْ َو َ ِّشهِْ ْ
Bahwa engkau beriman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, kitab-kitabNya, rasul-rasul-Nya dan hari akhirat. Dan juga engkau beriman kepada
qadar, yang baik dan yang buruk.” ( HR. Muslim )[7]  
Penjelasan masing-masing dalam rukun iman tersebut adalah:
1.      Iman Kepada Allah SWT.
Iman kepada Allah SWT. (Ma’rifatullah) artinya kita meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah itu Esa. Sesungguhnya ma’rifatullah merupakan puncak pengetahuan yang paling agung. Ma’rifatullah memiliki 2 sarana yaitu:
a.       Memikirkan dan memperhatikan segala sesuatu yang diciptakan Allah. Hal ini dapat dilakukan dengan melalui Tafakkur (berfikir)
b.      Mengenal nam-nama Allah dan sifat-sifat-Nya.[8]
Pembahasan mengenai nama-nama Allah sama halnya membahas tentang Asmaul Husna karena, 99 Asmaul Husna merupakan nama-nama Allah yang lain. Seperti: Ar-Rahman, Ar-Rahiim, Al-‘Aziiz, Al-Ghaafur, Al-‘Aliy, Al-Kariim, dan lain-lain.
Selain mengenal nama-nama Allah yang lain, kita sebagai umat yang beriman juga harus mengimani sifat-sfat Allah. Sifat-sifat Allah SWT diklasifikasikan menjadi 4 yaitu:
a.       Sifat Nafsiyah, merupakan sifat yang berhubungan dengan zat Allah SWT seperti wujud yang artinya ada.
b.      Sifat Salbiyah, merupakan sifat Allah yang menolak sifat-sifat yang tidak sesuai atau tidak layak bagi Allah, seperti:
1.      Qidam (Dahulu/Awal) >< Huduts (Ada yang mendahului)
2.      Baqa’ (Kekal) >< Fana (Tidak kekal)
3.  Mukhalafatulilhawaditsi (Berbeda dengan makhluk-Nya) >< Mumatsalatulil-bawaditsi ( Sama dengan makhluk-Nya)
4.   Qiyamuhubinafsihi (Berdiri sendiri) >< Ibtiyajubu ila ghairihi (Berdiri dengan yang lain/ kerjasama)
5.      Wahdaniyah (Esa/satu) >< Atta’addudu (Lebih dari satu)
c.       Sifat Ma’ani, adalah sifat wajib bagi Allah yang dapat digambarkan oleh akal pikiran manusia, serta dapat meyakinkan orang lain sebab kebenarannya dapat dibuktikan oleh pancaindera. Seperti: qudrat (kuasa), iradat ( berkehendak), ilmu (mengetahui), hayat (hidup), sama’ (mendengar), bashar (melihat), kalam (berbicara).
d.      Sifat Ma’nawiyah, merupakan sifat penjabaran dari Sifat Ma’ani, seperti: kaunuhu qadiran, kaunuhu muridan, kaunuhu ;aliman, kaunuhu bayyan, kaunuhu sami’an, kaunuhu bashiran, dan kaunuhu mutakalliman.[9]

2.      Iman Kepada Malaikat
Aqidah pokok yang kedua adalah beriman atau percaya kepada malaikat-malaikat Allah. Malaikat adalah makhluk ghaib yang diciptakan oleh Allah. Allah menciptakan mereka dari cahaya (meskipun tidak ada dalil dalam Al-Qur’an menyebutkan hal ini) dan Allah menjadikan mereka selalu taat dan tunduk kepada-Nya. Masing-masing diantara mereka memiliki tugas yang Allah khususkan kepada mereka. Seperti malaikat Jibril yang ditugaskan Allah untuk menurunkan wahyu kepada Rasul.Malaikat Mika’il yang ditugaskan mengurusi hujan dan tumbuh-tumbuhan,dll.[10]
Adapun makna dari beriman kepada malaikat adalah meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah telah menciptakan malaikat sebagai makhluk-Nya yang memiliki tugas-tugas tertentu dari Allah. Dan mereka adalah makhluk Allah yang tidak pernah menentang Allah dan senantiasa taat dan patuh kepada Allah.
Jumlah malaikat Allah sangatlah banyak, namun yang wajib diketahui oleh manusia berjumlah 10 dengan tugasnya masing-masing:
a.    Jibril, bertugas untuk menyampaikan wahyu kepada Allah kepada rasul dan nabi,
b.    Mikail, bertugas untuk mengatur kesejahteraan umat manusia (mengatur hujan, angina, dan rezeki seluruh makhluk).
c.    Izrail, bertugas mencabut ruh/nyawa semua jenis makhluk hidup.
d.    Munkar, bertugas menanyai manusia didalam kubur.
e.    Nakir, bertugas menanyai manusia didalam kubur.
f.     Raqib, bertugas mencatat amal baik manusia.
g.    Atid, bertugas mencatat amal buruk manusia.
h.    Israfil, bertugas meniup sangkakala pada hari kiamat dan hari kebangkitan.
i.      Ridwan, bertugas menjaga surga.
j.      Malik, bertugas menjaga neraka.

3.      Iman Kepada Kitab Allah
Iman kepada kitab Allah maksudnya adalah kita meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah telah menurunkan kitab-kitab-Nya kepada para Nabi dan Rasul-Nya, terutama beriman kepada Al-Qur’an dan kepada kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Baik itu Taurat, Zabur, Injil, ataupun suhuf-suhuf lainnya yang telah diberitakan dan dikabarkan dalam Al-Qur’an. Sebagaimana firman Alla, “dan kami telah menurunkan Kitab-Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab  yang diturunkan sebelum dan menjaganya” (Q.S. Al-Ma’idah: 48).

4.      Iman Kepada Rasul-Rasul Allah
Beriman kepada Rasul-Rasul Allah ialah meyakini bahwa Allah telah memilih beberapa orang diantara manusia, memberikan wahyu kepada mereka dan menjadikan mereka sebagai utusan (Rasul) untuk membimbing manusia kejalan yang benar. Mereka diutus Allah untu mengajarkan Tauhid, meluruskan aqidah, membimbing cara beribadah dan memperbaiki akhlak manusia yang rusak.[11]
Terdapat perbedaan antara nabi dan rasul. Nabi adalah seorang laki-laki yang merdeka dan mendapat wahyu dari Allah SWT dengan hukum syara’ untuk diamalkan sendiri.
Sedangkan Rasul adalah seorang laki-laki merdeka, mendapat wahyu dari Allah SWT dengan hukum syara’ untuk diamalkan sendiri serta disampaikan pada orang lain.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang nabi mendapatkan wahyu dari Allah untuk diamalkan sendiri. Kepadanya tidak diwajibkan menyampaikan atau mengajarkan wahyu yang diterimanya tersebut kepada orang lain.
Mengenai jumlah nabi dan rasul tidak ada yang mengetahui secara pasti, kecuali Allah SWT. Akan tetapi, yang wajib diketahui dan diimani dari keseluruhan nabi dan rasul sebanyak 25 orang yaitu: Nabi Adam a.s, Nabid Idris a.s, Nabi Nuh a.s, Nabi Hud a.s, Nabi Saleh a.s, Nabi Ibrahim a.s, Nabi Luth a.s, Nabi Ismail a.s, Nabi Ishaq a.s, Nabi Yaqub a.s, Nabi Yusuf a.s, Nabi Ayyub a.s, Nabi Syua’ib a.s, Nabi Musa a.s, Nabi Harun a.s, Nabi Zulkifli a.s, Nabi Daud a.s, Nabi Sulaiman a.s, Nabi Ilyas a.s, Nabi Yunus a.s, Nabi Zakaria a.s, Nabi Yahya a.s, Nabi Isa a.s, Nabi Muhammad SAW.
Banyaknya ayat Al-Qur’an yang menerangkan keberadaan nabi dan rasul antara lain surat Yunus:47, Al-Baqarah:136, Al-An’am: 84, Al-Anbiya’: 85, Ali Imran:33, Al-A’raf:65, Al-Ahzab: 61, dan masih banyak lagi.
Dari 25 orang rasul yang harus diketahui dan diimani tersebut terdapat beberapa rasul yang disebut dengan ulul azmi, artinya rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati sangat mengagumkan, keteguhan hati yang luar biasa, serta kesabaran yang tiada batasnya. Mereka antara lain: Nabi Muhammad SAW, Nabi Ibrahim a.s, Nabi Musa a.s, Nabi Isa a.s, Nabi Nuh a.s.
Rasul-rasul  Allah memiliki sifat-sifat wajib bagi rasul, yang disebut dengan sifat wajib bagi rasul antara lain:
a.       Shiddiq (Jujur/segala ucapannya merupakan kebenaran dan bukan kebohongan).
b.      Amanah (Dapat dipercaya).
c.       Tabligh (Menyampaikan/ menyampaikan sesuatu dari Allah dan tidak menyembunyikannya).
d.      Fathanah (cerdas/ pandai dalam segala hal dan tidak mungkin bodoh. Sebab, jika rasul bodoh, maka akan mudah dikalahkan oleh para penentangnya dan ajaran yang disampaikannya akan dei remehkan atau mungkin ditolak).[12]

5.      Iman Kepada Hari Kiamat
Beriman kepada hari akhir/ kiamat merupakan salah satu rukun iman, dan salah satu bagian akidah. Bahkan unsur penting setelah beriman kepada Allah secara langsung.
Hal ini karena beriman kepada Allah akan mewujudkan ma’rifat (pengenalan) kepada sumber pertama yang darinya alam semesta ini berasal, yakni Allah SWT. Sedangkan beriman kepada hari akhir akan mewujudkan ma’rifat (pengenalan) kepada tempat kembali yang kepadanya alam wujud ini akan berakhir.[13]
Mengenai datangnya hari kiamat atau terjadinya hari akhir itu termasuk sesuatu yang hanya Allah saja yang mengetahuinya. Allah tidak memperlihatkan kepada siapapun dari makhluk-makhluk-Nya, baik kepada Nabi-Nya yang diutus, maupun kepada malaikat-malaikat terdekat-Nya.
Namun, menurut para ulama ada tanda-tanda yang menunjukkan akan datanya hari akhir tersebut. Tanda-tanda tersebut terbagi menjadi dua yaitu: Tanda-tanda kiamat kecil (sughra) dan tanda-tanda kiamat besar (kubra).
Banyak sekali ayat-ayat di dalam Al-Qur’an yang menyebutkan tentang hari akhir dan tanda-tandanya. Seperti Q.S. Al-Zalzalah:1-8, Q.S. An-Naml:82, Q.S. Al-Qamar:1, dll.
6.      Iman Kepada Qada dan Qadar
Qada adalah kepastian, sedangkan Qadar adalah ketentuan. Keduanya ditetapkan oleh Allah untuk seluruh makhluk-Nya. Sedangkan apa yang dimaksud dengan beriman kepada Qada dan Qadar adalah meyakini atau mempercayai bahwa atas dirinya ada kespastian dan ketentuan yang telah digariskan oleh Allah sejak zaman azali. Jadi semua yang akan terjadi, sedang atau sudah terjadi di dunia ini telah diketahui oleh Allah SWT. Seperti firman Allah pada QS. Al-Hadid:22 :
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
Yang artinya: “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”[14]
E.     AQIDAH CABANG
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa aqidah cabang adalah permasalahan-permasalahan atau persoalan yang muncul atau di perselisihkan (ikhtilaf).
Adapun beberapa perbedaan pemahaman dalam memahami aqidah diatas adalah:
1.      Masalah Ketuhanan
Cabang pemahaman dalam memahami iman kepada Allah berkenaan tentang (asma’ dan sifat) nama dan siafat Allah, bukan pada Rubbubiyah dan Ulluhiyah Allah. Ketika memahami masalah Asma’ wa sifat  terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Jabariyah misalnya, mereka mengatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat, mereka atidak mau memberikan sifat kepada Allah dikarenakan menurut mereka merupakan hal yang baru, sedangkan Allah yang pertama awal (Qadim). Jadi menurut kelompok ini mustahil Allah memiliki sifat, dimana sifat diciptakan setalah adanya subjek yang disifati.[15]
Sedangkan kelompok Ahlussunnah berpendapat bahwa Allah memiliki nama yang mewakili sifat-sifat Allah. Namun sifat Allah tidaklah sama dengan sifat yang dimiliki oleh makhluk.
Selain itu, dalam masalah af’al (perbuatan) Tuhan, muncul persoalan-persoalan cabang yang diperselisihkan, seperti apakah Tuhan mempunyai kewajiban berbuat atau tidak. Dalam hal ini, golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban terhadap manusia, yaitu wajib berbuat baik dan terbaik bagi manusia (as shalah al ashlah). Sebaliknya, golongan Ahlussunnah berpendapat bahwa Tuhan tidak memiliki kewajiban terhadap makhluk-Nya.[16]
2.      Perbedaan Pemahaman Terhadap Iman Kepada Rasul
Masalah yang masih diperselisihkan berkaitan dengan iman kepada Nabi dan Rasul adalah mengenai jumlahnya. Selain itu, masalah yang sering diperselisihkan dalam masalah iman kepada Rasul adalah perbedaan pendaat antara kelompok ahlu sunnah dan syi’ah.
Kelompok syi’ah berpendapat bahwa ali lebih berhak menjadi Nabi daripada Muhammad. Ataupun kelompok Ahmadiyah yang meyakini bahwa adanya Nabi setelah Nabi Muhammad yaitu, mirza Ghulam ahmad.[17]
3.      Masalah Qadar/Takdir
Dalam persoalan mengimani takdir Allah, umat islam umumnya sepakat perlunya meyakini adanya ketentuan Allah yang berlaku bagi semua makhluk yang ada di alam semesta. Namun, mereka berbeda pendapat dalam memahami dan mempraktekannya. Ada diantara mereka yang memahami bahwa takdir Allah berarti manusia tidak memiliki kemampuan untuk memilih, segala gerak-gerik dan perbuatan manusia dapa hakekatnya telah ditentukan oleh Allah.
Pendapat lain mangatakan bahwa manusia mampu mewujudkan tindakan dan perbuatan sendiri. Tuhan tidak ikut campur tangan dalam pebuatan manusia tersebut, dan mereka menolak pendapat yang mengatakan bahwa semua yang terjadi karena telah ditakdirkan oleh Allah.
4.      Masalah Iman Kepada Kitab Allah SWT.
Permasalah yang ikhfilafkan dikalangan orang islam adalah mengenai Al-Quran itu Qadim (kekal) atau Hadis (baru). GolonganAsy’ariyah dan Maturidiyah berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah Qadim bukan makhluk (diciptakan). Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa Al-Qur’an bukan merupakan Qadim karena Al-Qur’an itu makhluk (diciptakan).[18]

BAB III
KESIMPULAN

1.      Aqidah adalah keyakinan didalam hati dalam memegang teguh sebuah kepercayaan islam, dan keyakinan adalah keimanan.
2.      Aqidah pokok adalah Aqidah yang nilai-nilainya tidak mengalami perubahan sejak zaman Nabi atau keutuhan aqidah yang mencakup enam rukun iman mengkristal secara kuat dalam keimanan umat islam.
3.      Aqidah cabang adalah perbedaan pemahaman atau masalah-masalah yang muncul mengenai enam rukun iman, hal ini mulai bermunculan setelah nabi Muhammad SAW wafat.
4.      Cakupan Aqidah pokok antara lain:
a.       Iman kepada Allah SWT.
b.      Iman kepada malaikat Allah SWT.
c.       Iman kepada Rasul-Rasul Allah SWT.
d.      Iman kepada Hari Akhir.
e.       Iman Kepada Qada dan Qadar
5.      Cakupan Aqidah cabang adalah perbedaan pendapat atau masalah-masalah mengenai berbagai cakupan aqidah pokok (6 rukun iman).










DAFTAR PUSTAKA
1.      Drs.Mustthofa dkk. 2005. Tauhid. Yogyakarta: Pokja UIN SUKA.
2.      Sayyid Sabiq.2006.  Aqidah Islamiyah. Jakarta: Robbani Pers.
3.      Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy(Pustaka Imam Syafi'i, cet.I).
4.      H. Aboebakar Atjeh. 1966. Ilmu Ketuhanan (Ilmu Kalam). Jakarta: Tintamas.
5.      Shalih al-Ustaimin, Syaikh Muhammad. 1996. Syarah Aqidah al-Washithiyah. Terj. Izzudin Karimi, Lc. Riyadh: Dar ats-Tsurayya.


[1] Drs.Mustthofa dkk, Tauhid,  (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN SUKA: 2005). Hlm. 62.
[2] Sayyid Sabiq, Aqidah Islamiyah, ( Jakarta: Robbani Pers: 2006). Hlm. 3.
[4] Sayyid Sabiq, Aqidah Islamiyah, ( Jakarta: Robbani Pers: 2006) hlm. 4.
[5] H. Aboebakar Atjeh. 1966. Ilmu Ketuhanan (Ilmu Kalam). Jakarta: Tintamas. Hlm. 82-83.
[6] Drs.Mustthofa dkk, Tauhid,  (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN SUKA: 2005), hlm. 63-64.
[8] Sayyid Sabiq, Aqidah Islamiyah, ( Jakarta: Robbani Pers: 2006) hlm.19.
[9] Drs.Mustthofa dkk, Tauhid,  (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN SUKA: 2005), hlm.64-65.
[10] Ibid. hal 90. Juga terdapat dalam, Maulana Muhammad Ali. 1977. The Reigion of Islam
“Islamologi”. Terj. CV Darul Kutubil Islamiyah. Jakarta : CV Darul Kutubil Islamiyah. hal. 171-
173.

[11] Muhammad Murodhi. 2013. Aqidah Pokok dan Aqidah Cabang..
[12] Drs.Mustthofa dkk, Tauhid,  (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN SUKA: 2005), hlm.70-71.
[13]  Sayyid Sabiq, Aqidah Islamiyah, ( Jakarta: Robbani Pers: 2006) hlm.429.
[14] Drs.Mustthofa dkk, Tauhid,  (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN SUKA: 2005), hlm.74.
[15] H. Aboebakar Atjeh. 1966. Ilmu Ketuhanan (ilmu kalam). Jakarta : Tintamas. Hlm. 40
[16] Drs.Mustthofa dkk, Tauhid,  (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN SUKA: 2005), hlm.74.
[17] H. Aboebakar Atjeh. 1966. Ilmu Ketuhanan (ilmu kalam). Jakarta : Tintamas. Hlm.55.
[18] Ibid. hlm. 48.

Komentar

Postingan Populer